Monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dikenal sebagai primata yang sangat adaptif dan mampu bertahan di berbagai tipe habitat, mulai dari hutan primer, hutan sekunder, hingga lanskap yang berdekatan dengan aktivitas manusia. Sebagai omnivora oportunis, spesies ini memiliki peran ekologis penting. Mereka membantu regenerasi hutan dengan menyebarkan biji melalui sisa pakan yang dibuang bersama kotorannya, mengendalikan populasi serangga, serta menjadi indikator kesehatan ekosistem karena perubahan populasinya mencerminkan kualitas habitat.
Sayangnya, peran penting tersebut sering kali terabaikan. Macaca fascicularis kerap dicap sebagai hama atau satwa pengganggu, terutama ketika tekanan terhadap habitat memaksa mereka mendekati permukiman dan lahan pertanian. Stigma negatif ini diperparah oleh meningkatnya konflik manusia-satwa dan praktik perdagangan ilegal, yang membuat populasinya semakin rentan.
Penelitian di kawasan karst Gunung Kidul mengungkap bahwa monyet ekor panjang masih mampu bertahan meskipun habitatnya terfragmentasi. Namun, kondisi ini memicu perubahan perilaku, termasuk meningkatnya frekuensi kunjungan ke area pemukiman untuk mencari sumber pakan alternatif. Temuan ini menunjukkan bahwa kerusakan habitat tidak hanya mengancam kelangsungan hidup satwa, tetapi juga meningkatkan potensi konflik dengan masyarakat.
Mengelola keberadaan Macaca fascicularis di Gunung Kidul tidak dapat dilakukan hanya dengan mengendalikan populasinya. Upaya konservasi harus diarahkan pada perlindungan dan pemulihan habitat hutan karst, pembangunan koridor satwa untuk mengurangi interaksi langsung dengan manusia, serta peningkatan kesadaran masyarakat mengenai peran ekologis monyet ekor panjang. Dengan pendekatan berbasis sains dan kolaborasi masyarakat, spesies ini dapat tetap menjalankan perannya sebagai spesies kunci ekosistem, sekaligus menekan risiko konflik di kawasan yang kaya keanekaragaman hayati ini.